ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI
ONTOLOGI
Ø
Ontologi
dalam bahasa Latin adalah ontologia, artinya sesuatu yang betul-betul
ada. Dalam bahasa Yunani ont, ontos, artinya ada, atau keberadaan, logos
artinya studi atau ilmu tentang. Menjadi ontologos, artinya kajian
tentang hakikat yang ada, atau teori ilmu pengetahuan yang mengungkapkan
tentang hakikat segala sesuatu yang ada.
Ø
Cabang
filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin
yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi,
aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu,
eksistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada,
ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terakhir,
dasar.
Ø
Cabang
filsafat yang mencoba: a) melukiskan hakikat ada yang terakhir (Yang Satu, Yang
Absolut, Bentuk Abadi Sempurna); b) menunjukan bahwa segala sesuatu tergantung
padanya bagi eksistensinya; c) menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang
bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.
Ø
Cabang
filsafat: a) yang melontarkan pertanyaan “Apa arti ADA ,
BERADA?; b) yang menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal
dapat dikatakan ADA ,
BERADA. (Lorens Bagus, 1996: 745).
Ø
Cabang
filsafat yang: a) menyelidiki status realitas sesuatu, seperti apakah
objek-objek pengindraan kita itu bersifat nyata atau ilusif (khayal/menipu); b
Apakah bilangan itu nyata? Apakah pikiran itu nyata? Mempertanyakan tentang
jenis realitas atau ciri ilusi apa yang dimiliki sesuatu; seperti jenis
realitas apa yang dimiliki bilangan ? persepsi? Pemikiran; c) memeprtanyakan
tentang realitas-realitas yang lain atau tentang realitas, yang padanya
tergantung apa yang kita sebut realitas dan atau ilusi. Sebagai contoh, apakah
realitas atau ciri ilusi merupakan sebuah pemikiran atau objek tergantung pada
pemikiran kita, atau pada sumber eksternal yang independen?
Ø
Ontologi
digunakan sebagai sinonim untuk metafisika, atau telah dianggap sebagai cabang
dari metafisika. Tapi ia juga dapat dilihat lebih dekat pada cabang-cabang
filsafat lain, seperti epistimologi, analisis filosofis dan semantik.
Kemiripannya dengan teologi juga nyata, yang disebut oleh Aristoteles sebagai
filsafat pertama (Kamus Filsafat Tim Penulis Rosda, 1995: 234-235).
Ø
Clauberg
menyebut ontologi sebagai ilmu pertama, studi tentang yang ada sejauh
ada. Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah, dan semua
ciptaan-Nya, dan mendasari baik teologi maupun fisika. Studi ini mencakup
atribut-atribut yang ada, amupun juga analisis sebab, tatanan, relasi,
kebenaran, dan kesempurnaan.
Ø
Wolff
mendefiniskan ontologi sebagai ilmu tentang yang ada pada umumnya, dan
menggunakan “filsafat pertama” sebagai sinonimnya. Metodenya deduktif, dan
tujuannya adalah terciptanya suatu sistem kebenaran yang niscaya dan pasti.
Prinsip nonkontradiksi, dan prinsip tiada jalan tengah merupakan alatnya.
Ø
Husserl
membedakan ontologi formal dari ontologi material. Keduanya berurusan dengan
analisis esensi-esensi. Ontologi formal berurusan dengan esensi formal atau
universal. Dan merupakan basis terdalam dan terakhir dari semua ilmu. Ontologi
material, yang menggeluti esensi-esensi material atau regional, yang merupakan
basis dari semua ilmu faktual (Lorens Bagus, 1996: 746-749).
Ø
Ontologi
kuantitatif, ontologi kualitatif, dan ontologi monistik. Ontologi kuantitatif
mempertanyakan apakah “kenyataan itu tunggal atau jamak?” Ontologi kualitatif
mempertanyakan “dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan
itu?” Ontologi monistik membicarakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya, dan
seluruh keanekaragaman, perbedaan serta perubahan, bersifat semu belaka. Dewasa
ini sistem monistik itu tidaklah umum dianut orang, karena justru perbedaanlah
yang merupakan kategori dasar segenap kenyataan yang ada yang tidak dapat
disangkal lagi kebenarannya. Tapa ada juga yang berpendirian bahwa pada
dasarnya segala sesuatu sama hakikatnya.(Louis O. Kattsoff, 1992: 192-193).
EPISTIMOLOGI
Ø
Epistimologi
pada intinya membicarakan tentang sumber pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan. Berasal dari kata Yunani yaitu episteme, artinya
pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos artinya juga pengetahuan
atau informasi. Jadi dapat dikatakan epistimologi artinya pengetahuan tentang
pengetahuan. Ataudakalanya disebut “teori pengetahuan”, dan adakalanya disebut
filsafat pengetahuan (Loren Bagus, 1996: 212).
Ø
Dalam
Kamus Filsafat yang ditulis oleh Tim Penulis Rosda, mengungkapkan bahwa epistimologi
mengandung arti adalah kajian tentang (1) asal-usul; (2) anggapan dasar; (3)
tabiat; (4) rentang, dan (5) kecermatan (kebenaran, keterandalan, keabsahan)
pengetahuan. Adalah cabang filasafat yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan
seperti: Apakah pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan? Bagaimana
ia dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan? (1995: 96).
Ø
Ada beberapa aliran yang berbicara tentang epistimologi,
di antaranya dan yang paling populer serta mengalami perdebatan sengit yang
terus menerus adalah empirisme dan rasionalisme.
Ø
Empirisme. Menurut aliran ini bahwa manusia
memperoleh pengetahuan melalui pengelaman indranya. Bapak aliran ini adalah
John Lock (1632-1704) dengan teorinya tabula rasa yang artinya secara
bahasa adalah meja lilin. Kelemahan aliran ini sangat banyak: (1) Indra
terbatas: Benda yang jauh kelihatan kecil; (2) Indra menipu: Orang yang sedang
sakit malaria, gula rasanya pahit; (3) Terkadang objek yang menipu, seperti
illusi dan patamorgana; (4) Kekurang terdapat pada indra dan objek sekaligus:
Indra (dalam hal ini mata) tidak bisa melihat seekor kerbau secara keseluruhan.
Begitu juga kerbau tidak bisa memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Ø Rasionalisme. Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah
dasar kepastian pengetahuan. Pengetahn yang benar hanya dapat diperoleh dan
diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan akal menangkap objek. Bapak aliran ini (biasanya) orang mengatakan
adalah Rene Descartes (1596-1650), meskipun paham ini jauh sudah ada jauh
sebelumnya (pada masa Yunani Kuno). Bagi aliran ini, kekeliruan pada aliran
empirisem yang disebebkan kelemahan oleh alat indra tadi, dapat dikoreksi
seandainya akal digunakan. Kendatipun demikian aliran ini tidak mengingkari
kegunaan alat indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan
untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat
bekerja. Laporan indra merupakan bahan yang belum jelas dan kacau. Kemudian
bahan tadi dipertimbangkan oleh akal dalam pengelamannya berpikir. Selain yang
dua aliran tadi, kemudian ada satu aliran lagi yang sama-sama populer. Ahmad
Tafsir dan Endang Saefuddin Anshari menyebutnya Intuisionisme.
Ø Paham aliran ini menganggap tidak hanya
indra yang terbatas, akal juga terbatas. Objek yang kita tangkap itu selalu
berubah-ubah. Jadi pengetahuan kita tentangnya juga selalu berubah. Bapak
aliran ini adalah Hanry Bergson (1859-1941). Dengan menyadari keterbatasan
indra dan akal, bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia yaitu intuisi. Kemampuan ini mirip dengan instinct,
tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Yang mirip dengan aliran ini
adalah iluminasionisme. Menurut Ahmad Tafsir, paham ini dalam Islam
disebut dengan teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia mempunyai
kesanggupan (bagi hatinya yang beresih) untuk menerima pengetahuan yang
langsung dari Tuhan. Kemampuan tersebut dapat diupayakan melalui latihan, yang
dalam Islam disebut dengan suluk, secara lebih spesifik lagi disebut riyadlah
(Ahmad Tafsir, 2000: 27).
Ø Perbedaan pokok dan dasar dari tiga teori
epistimologi di atas, menurut Lorens Bagus (1996: 212) adalah perbedaan antara
teori empirisme dan metode rasionalisme. Teori empirisme
ditekankan oleh Francis Bacon, Locke, Berkeley, dan Humes. Sedangkan metode
rasionalisme ditegaskan oleh Parmenides, Plato, Spinoza, dan Laibniz.
Ø Empirisme umumnya dapat diidentikan dengan
teori korespondensi (tentang kebenaran), dan rasionalisme dengan teori
koherensi (tentang kebenaran). Menurut teori korespondensi bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar bila berkorespondensi (sepadan) dengan dunia
(kenyataan); dan ide-ide berkorelasi dengan kenyataan melalui persepsi-persepsi
yang kita terima dari luar. Oleh karena itu, kaum rasionalisme diharapkan
menanggapi bahwa kelemahan yang ditemukan oleh teori empirisme dalam perkiraan,
dapat dibangun oleh padanan-padanan (korespondensi). Akan tetapi, kaum
rasionalis yang menerima teori koherensi tetap bertahan tidak menekankan
korespondensi (padanan), melainkan kriteria logis dalam mengevaluasi sebuah
teori. (Bagus: 213)
Ø Debat lain dalam epistimologi adalah antara
realisme dan idealisme. Dalam epistimologi ada doktrin yang menekankan
objektivitas pengetahuan. Doktrin ini terkadang disebut “realistis”. Menurut
paham realisme epistimologi bahwa data-data pengetahuan harus diidentifikasikan
dengan objek. Sedangkan paham idealisme epistimologi adalah bahwa objek kiranya
diidentikan dengan data. (Bagus: 213)
Ø Debat epistimologi aliran lainnya adalah
antara aliran dualisme dan monoisme. Dualisme epistimologi beranggapan bahwa
terdapat dualitas antara data indrawi dan obyek yang diketahui. Monoisme
epistimologi memandang data identik dengan obyek yang diketahui. (Bagus: 213)
Ø Dalam hal ini Alquran memberikan petunjuk (solusi)
berupa metode praktis tentang cara-cara memperoleh ilmu, yakni melalui metode
ilmiah yang realistis, dan jauh dari perdebatan teoritis dan hipotesis. Hal ini
bertujuan demi kebaikan umat manusia dan menjauhkannya dari kekeliruan-kekeliruan.
Ø Metode tersebut ditopang oleh dua faktor
yang kuat. Pertama, dengan menggunakan dan memanfaatkan pengalaman orang lain,
baik dari kalangan generasi dulu maupun kini. Kedua, menggunakan akal dan
pengalaman kita dalam upaya mencari kebenaran agar kita mendapat petunjuk yang
orang lain tidak mendapatkannya. Dalam Alquran, faktor pertama melalui
pendengaran, atau disebut juga pewarisan pengalaman, dan faktor kedua dengan
akal atau pemikiran logis. Sesuai dengan Firman Allah:
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya (QS. Qaf: 37).
Maka apakah
mereka tidak berjalan di muka bumi, hingga mereka mempunyai hati yang dengan
itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
adalah hati yang di dalam dada (QS al-Hajj: 46).
Ø Dasar-dasar pewarisan pengalaman:
1. Tidak boleh menyembunyikan ilmu:
² Barang siapa yang ditanya (memiliki) ilmu
pengetahuan, kemudian ia menyembunyikannya, maka Allah akan memberi kendali
kepadanya pada hari kiamat nanti dengan kendali dari api neraka (HR. Abu Dawud dan Tirmidazi).
² Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah Kami turunkan (ajarkan) berupa keterangan-keterangan yang jelas
dan petunjuk setelah Kami menerangkannya dalam alkitab, mereka akan dilaknat
Allah dan dilaknat pula oleh semua makhluk pelaknat (QS. al-Baqarah: 159).
2. Amanat
yang berupa ilmu pengetahuan menduduki tempat pertama untuk diajarkan kepada
orang lain; orang yang pandai memberikan segala informasi dengan jelas dan
cermat, di dalamnya tidak ada distorsi dan penyimpangan, juga tidak dilebihi
dan tidak dikurangi.
² Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan
percaya kepadamu padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu
mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya sedang mereka mengetahui (QS. al-Baqarah: 75).
² Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq
dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu
mengetahui (QS.
al-Baqoroh: 42).
3. Pengetahuan
itu harus disebarluaskan kepada umat. Para Rasul tidak diutus ke muka bumi
kecuali mereka berfungsi sebagai guru dan pemberi petunjuk, baik melalui kitab
yang diturunkan maupun melalui contoh yang baik, dengan tidak terikat oleh
besar atau kecilnya honorarium yang diperoleh.
² Ikutilah orang yang tidak minta balasan
kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Yaasin (36): 21).
² Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak minta
upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang
yang mengada-adakan. Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta
alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an
setelah beberapa waktu lagi (QS. Shad: 86-88).
4. Hindari menyia-nyiakan
waktu dalam diskusi yang berkepanjangan (baik bagi murid maupun guru) yang
tujuannya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mencari kemenangan
yang tidak didasari oleh kebenaran.
²
Dan
jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: Allah lebih mengetahui tentang apa
yang kamu kerjakan (QS.
al-Hajj: 68).
²
Di
antar manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan
mengikuti setiap syetan yang jahat (QS. al-Hajj: 3).
5. Menerima
kebenaran berdasarkan dalil yang argumentatif. al-Qur’an mencela mereka yang
menutup mata dan telinga untuk melihat sinar terang kebenaran sehingga mereka
tidak mendapat kepastian.
²
Dan
sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka kepada iman agar engkau mengampuni
mereka, mereka memasukan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan
bajunya ke mukanya dan mereka tetap mengingkari dan sangat menyombongkan diri (QS. Nuuh: 7).
²
Dan
orang-orang kafir berkata: Dan janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh
akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat
mengalahkan mereka (QS. Fushshilat: 26).
6. Mengambil hikmah atau nilai-nilai kebaikan dan
meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat atau sia-sia.
² Mereka (Orang-orang yang beriman) itulah
orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada
berguna (QS.
al-Mukminun: 3).
² Mereka tidak mendengar di dalamnya
perkataan-perkataan yang sia-sia dan tidak pula mendengar perkataan yang
menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan-ucapan “salam” (QS. al-Waqi’ah: 25-26).
7. Membedakan dan menyeleksi informasi untuk
kemaslahatan perdaban umat manusia, agar tidak tersesat akibat menuruti syetan.
² Sebab itu sampaikanlah berita-berita itu
kepada hamba-hambaku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah dan mereka itulah orang-orang yang diberi akal (QS. al-Zumar: 17-18).
² Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. al-Hujurat:
6).
8. Dapat
membedakan dan mengamati orang-orang yang ahli dan kompeten dalam bidangnya (profesionalisme)
dalam menerima ilmu pengetahuan.
² Tanyakanlah prihal yang tidak kamu ketahui
kepada orang-orang yang mengetahui (ahlinya)(QS. al-Anbiya: 7).
²
Maka
jika kamu (Muhammad) berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca alkitab sebelum kamu (QS. Yunus: 94).
Ø Keterangan di atas menjelaskan dengan cermat
prihal patokan dan kriteria-kriteria ilmu pengetahuan yang harus diwariskan
dari satu generasi kepada generasi lainnya. Artinya, al-Qur’an menginformasikan
kepada kita bahwa dalam mewariskan ilmu pengetahuan tentunya kita harus memperhatikan secara selektif-prediktif
tentang jenis-jenis pengetahuan yang layak dan sesuai untuk diwariskan dan
diterima oleh generasi-generasi mendatang.
Ø Dasar-dasar Pemikiran Logis
1.
Harus
membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid dan tradisi yang diwariskan
secara turun tumurun dari nenek moyang serta dari kungkungan yang meliputi kita
sejak kecil. Dengan cara ini kita dapat berfikir dan meneliti secara bebas dan
netral, sehingga dapat memperoleh kebenaran yang otentik.
² (Rasul) berkata: Apakah kamu akan
mengikutinya juga, sekalipun aku membawa untukmu agama yang lebih nyata memberi
petunjuk dari apa yang kamu dapati dari bapak-bapakmu menganutnya?. Mereka
menjawab: Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu disuruh untuk
menyampaikannya (QS.
al-Zukhruf: 24).
²
Sabda
Rasul:Janganlah kamu menjadi pembebek yang berkata: Jika manusia baik, akupun
baik, jika mereka jelek akupun jelek. Hendaknya teguh pendirian; jika manusia
baik, baiklah kamu. Jika mereka jelek maka hendaklah kamu menjauhinya. (HR. Imam Tirmidzi).
2. al-Qur’an
mengajak kita menggunakan panca indra dan akal dalam mengamati pengalaman, baik
yang sifatnya material maupun spiritual. Indra dan akal saling menyempurnakan.
Antara keduanya tidak terpisah dan tidak berdiri sendiri sebagaimana diklaim
masing-masing oleh filsafat empirisme dan rasionalisme.
² Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, kemudian Dia (Allah)
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur (QS. al-Nahl: 78).
²
Dan
Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, akan
tetapi amat sedikit kamu bersyukur (QS. al-Mukminun: 78).
3. Selain indra dan akal, ada
lagi pemberian Allah yang tersembunyi yang dinamakan dengan hikmah, orang sufi
menyebutnya bashirah mulhamah, sedangkan para filosof modern menyebutnya
intuisi. Di samping “al-Hikmah” juga Allah memberi al-Nur/cahaya dan al-fariqoh
atau al-Furqon, artinya pembeda antar yang haqq dengan yang bathil. Hikmah ini
tidak bisa diketahui oleh akal dan indra, tetapi bisa diperoleh melalui apa yang
ada di balik itu. Ahli psikologi menyebutnya indra keenam Kekuatan yang
tersembunyi tersebut diberikan Allah kepada orang yang sudah mencapai derajat
taqarrub (dekat) kepada-Nya.
²
Allah
memberikan hikmah kepada siap yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang
diberi hikmah, sesungguhnya telah diberi kebajikan yang banyak, dan tidak ada
yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal (QS. al-Baqarah: 269).
²
Dan
setelah dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Yusuf: 22).
² Dan Allah menjadikan untukmu cahaya yang
dengan cahay itu kamu dapat berjalan, dan Dia mengampuni kamu, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Hadid: 28).
²
Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan keslahan-kesalahanmu dan mengampuni
dosa-dosamu, dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar (QS. al-Anfal: 29).
Ø Beberapa uraian tersebut di atas merupakan
epistimologi ilmu pengetahuan atau langkah-langkah dan cara-cara
memperoleh ilmu pengetahuan yang telah
digariskan dalam al-Qur’an. Epistimologi
ilmu perspektif ini, bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dengan menggunakan alat
indra, akal, mata hati dan hidayah-taufiq dari Allah (hikmah).
Ø Sebenarnya epistimologi ilmu perspektif
al-Qur’an ini merupakan simultan secara integratif dari aliran-aliran
epistimologia yang terdapat dalam filsafat yaitu empirisem, rasionalisme dan
intuisisme.
AKSIOLOGI
Ø
Louis
O. Kattsoff (1992: 327) mendefinidkan aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki tentang hakikat segala sesuatu. Di dunia ini terdapat banyak
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus, seperti
ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistimologi. Estetika berhubungan
dengan masalah keindahan, etika berhubungan dengan masalah kebaikan, dan
epistimologi berhubungan dengan masalah kebenaran.
Ø
Permaslahan
tentang “hakikat nilai” dapat dijawab dengan tiga macam cara; orang dapat
mengatakan bahwa: (1) nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari
sudat pandang ini, nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia
sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
Yang demikian ini dapat dinamakan “subjektivitas”. Atau dapat pula orang
mengatakan (2) nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi
ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Niali tersebut merupakan
esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan
“objektivisme logis”. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa (3) nilai-nilai
merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan. Yang demikian ini disebut
“objektivisme metafisik”. (Kattsoff, 1992: 327 dan Bagus, 1996: 33-34).
Ø
Aksiologi
merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis tersebut adalah membatasi
arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistimologi dari nilai-nilai
itu (Kamus Filsafat Tim Penulis Rosda, 1995: 30). Atau aksiologi berarti kajian
teori umum yang menyangkut dengan nilai, atau suatu kajian yang menyangkut
segala sesuatu yang bernilai (Bagus, 1996: 33).
Ø
Secara
sederhana aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu
pengetahuan itu sendiri (Ali Abdul Azhim, 1989: 268). Dalam hal ini telah
terjadi perdebatan panjang antara para filusuf tentang tujuan ilmu pengetahuan.
Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi yang
menekuninya, dan mereka menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan untuk ilmu
pengetahuan”, sebagaimana mereka katakan “seni untuk seni”. Sebagian
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah upaya para peneliti menjadikan
alat atau jalan untuk menambah kesenangan hidup di dunia ini. Sebagian lagi
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan alat untuk meningkatkan kebudayaan
dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan. Adapaun dalam Islam bahwa
ilmu pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dari
sekedar tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena di balik kehidupan materi
ini ada lagi kehidupan yang mereka lalaikan, yakni kehidupan akhirat (QS Ruum:
6-7), maka tujuan ilmu pengetahuan dalam Islam adalah untuk menggapai Ridlo
Allah SWT dalam meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
No comments:
Post a Comment