Tuesday, August 11, 2015

ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI

ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI

ONTOLOGI

Ø  Ontologi dalam bahasa Latin adalah ontologia, artinya sesuatu yang betul-betul ada. Dalam bahasa Yunani ont, ontos, artinya ada, atau keberadaan, logos artinya studi atau ilmu tentang. Menjadi ontologos, artinya kajian tentang hakikat yang ada, atau teori ilmu pengetahuan yang mengungkapkan tentang hakikat segala sesuatu yang ada.

Ø  Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, eksistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar.

Ø  Cabang filsafat yang mencoba: a) melukiskan hakikat ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna); b) menunjukan bahwa segala sesuatu tergantung padanya bagi eksistensinya; c) menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.



Ø  Cabang filsafat: a) yang melontarkan pertanyaan “Apa arti ADA, BERADA?; b) yang menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ADA, BERADA. (Lorens Bagus, 1996: 745).

Ø  Cabang filsafat yang: a) menyelidiki status realitas sesuatu, seperti apakah objek-objek pengindraan kita itu bersifat nyata atau ilusif (khayal/menipu); b Apakah bilangan itu nyata? Apakah pikiran itu nyata? Mempertanyakan tentang jenis realitas atau ciri ilusi apa yang dimiliki sesuatu; seperti jenis realitas apa yang dimiliki bilangan ? persepsi? Pemikiran; c) memeprtanyakan tentang realitas-realitas yang lain atau tentang realitas, yang padanya tergantung apa yang kita sebut realitas dan atau ilusi. Sebagai contoh, apakah realitas atau ciri ilusi merupakan sebuah pemikiran atau objek tergantung pada pemikiran kita, atau pada sumber eksternal yang independen?


Ø  Ontologi digunakan sebagai sinonim untuk metafisika, atau telah dianggap sebagai cabang dari metafisika. Tapi ia juga dapat dilihat lebih dekat pada cabang-cabang filsafat lain, seperti epistimologi, analisis filosofis dan semantik. Kemiripannya dengan teologi juga nyata, yang disebut oleh Aristoteles sebagai filsafat pertama (Kamus Filsafat Tim Penulis Rosda, 1995: 234-235).

Ø  Clauberg menyebut ontologi sebagai ilmu pertama, studi tentang yang ada sejauh ada. Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah, dan semua ciptaan-Nya, dan mendasari baik teologi maupun fisika. Studi ini mencakup atribut-atribut yang ada, amupun juga analisis sebab, tatanan, relasi, kebenaran, dan kesempurnaan.

Ø  Wolff mendefiniskan ontologi sebagai ilmu tentang yang ada pada umumnya, dan menggunakan “filsafat pertama” sebagai sinonimnya. Metodenya deduktif, dan tujuannya adalah terciptanya suatu sistem kebenaran yang niscaya dan pasti. Prinsip nonkontradiksi, dan prinsip tiada jalan tengah merupakan alatnya.

Ø  Husserl membedakan ontologi formal dari ontologi material. Keduanya berurusan dengan analisis esensi-esensi. Ontologi formal berurusan dengan esensi formal atau universal. Dan merupakan basis terdalam dan terakhir dari semua ilmu. Ontologi material, yang menggeluti esensi-esensi material atau regional, yang merupakan basis dari semua ilmu faktual (Lorens Bagus, 1996: 746-749).

Ø  Ontologi kuantitatif, ontologi kualitatif, dan ontologi monistik. Ontologi kuantitatif mempertanyakan apakah “kenyataan itu tunggal atau jamak?” Ontologi kualitatif mempertanyakan “dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” Ontologi monistik membicarakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya, dan seluruh keanekaragaman, perbedaan serta perubahan, bersifat semu belaka. Dewasa ini sistem monistik itu tidaklah umum dianut orang, karena justru perbedaanlah yang merupakan kategori dasar segenap kenyataan yang ada yang tidak dapat disangkal lagi kebenarannya. Tapa ada juga yang berpendirian bahwa pada dasarnya segala sesuatu sama hakikatnya.(Louis O. Kattsoff, 1992: 192-193).       




EPISTIMOLOGI

Ø  Epistimologi pada intinya membicarakan tentang sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Berasal dari kata Yunani yaitu episteme, artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos artinya juga pengetahuan atau informasi. Jadi dapat dikatakan epistimologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan. Ataudakalanya disebut “teori pengetahuan”, dan adakalanya disebut filsafat pengetahuan (Loren Bagus, 1996: 212).

Ø  Dalam Kamus Filsafat yang ditulis oleh Tim Penulis Rosda, mengungkapkan bahwa epistimologi mengandung arti adalah kajian tentang (1) asal-usul; (2) anggapan dasar; (3) tabiat; (4) rentang, dan (5) kecermatan (kebenaran, keterandalan, keabsahan) pengetahuan. Adalah cabang filasafat yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan? Bagaimana ia dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan? (1995: 96).

Ø  Ada beberapa aliran yang berbicara tentang epistimologi, di antaranya dan yang paling populer serta mengalami perdebatan sengit yang terus menerus adalah empirisme dan rasionalisme.

Ø  Empirisme. Menurut aliran ini bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengelaman indranya. Bapak aliran ini adalah John Lock (1632-1704) dengan teorinya tabula rasa yang artinya secara bahasa adalah meja lilin. Kelemahan aliran ini sangat banyak: (1) Indra terbatas: Benda yang jauh kelihatan kecil; (2) Indra menipu: Orang yang sedang sakit malaria, gula rasanya pahit; (3) Terkadang objek yang menipu, seperti illusi dan patamorgana; (4) Kekurang terdapat pada indra dan objek sekaligus: Indra (dalam hal ini mata) tidak bisa melihat seekor kerbau secara keseluruhan. Begitu juga kerbau tidak bisa memperlihatkan badannya secara keseluruhan.

Ø  Rasionalisme. Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahn yang benar hanya dapat diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Bapak aliran ini (biasanya) orang mengatakan adalah Rene Descartes (1596-1650), meskipun paham ini jauh sudah ada jauh sebelumnya (pada masa Yunani Kuno). Bagi aliran ini, kekeliruan pada aliran empirisem yang disebebkan kelemahan oleh alat indra tadi, dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Kendatipun demikian aliran ini tidak mengingkari kegunaan alat indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Laporan indra merupakan bahan yang belum jelas dan kacau. Kemudian bahan tadi dipertimbangkan oleh akal dalam pengelamannya berpikir. Selain yang dua aliran tadi, kemudian ada satu aliran lagi yang sama-sama populer. Ahmad Tafsir dan Endang Saefuddin Anshari menyebutnya Intuisionisme.

Ø  Paham aliran ini menganggap tidak hanya indra yang terbatas, akal juga terbatas. Objek yang kita tangkap itu selalu berubah-ubah. Jadi pengetahuan kita tentangnya juga selalu berubah. Bapak aliran ini adalah Hanry Bergson (1859-1941). Dengan menyadari keterbatasan indra dan akal, bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Yang mirip dengan aliran ini adalah iluminasionisme. Menurut Ahmad Tafsir, paham ini dalam Islam disebut dengan teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia mempunyai kesanggupan (bagi hatinya yang beresih) untuk menerima pengetahuan yang langsung dari Tuhan. Kemampuan tersebut dapat diupayakan melalui latihan, yang dalam Islam disebut dengan suluk, secara lebih spesifik lagi disebut riyadlah (Ahmad Tafsir, 2000: 27).   

Ø  Perbedaan pokok dan dasar dari tiga teori epistimologi di atas, menurut Lorens Bagus (1996: 212) adalah perbedaan antara teori empirisme dan metode rasionalisme. Teori empirisme ditekankan oleh Francis Bacon, Locke, Berkeley, dan Humes. Sedangkan metode rasionalisme ditegaskan oleh Parmenides, Plato, Spinoza, dan Laibniz.

Ø  Empirisme umumnya dapat diidentikan dengan teori korespondensi (tentang kebenaran), dan rasionalisme dengan teori koherensi (tentang kebenaran). Menurut teori korespondensi bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar bila berkorespondensi (sepadan) dengan dunia (kenyataan); dan ide-ide berkorelasi dengan kenyataan melalui persepsi-persepsi yang kita terima dari luar. Oleh karena itu, kaum rasionalisme diharapkan menanggapi bahwa kelemahan yang ditemukan oleh teori empirisme dalam perkiraan, dapat dibangun oleh padanan-padanan (korespondensi). Akan tetapi, kaum rasionalis yang menerima teori koherensi tetap bertahan tidak menekankan korespondensi (padanan), melainkan kriteria logis dalam mengevaluasi sebuah teori. (Bagus: 213)

Ø  Debat lain dalam epistimologi adalah antara realisme dan idealisme. Dalam epistimologi ada doktrin yang menekankan objektivitas pengetahuan. Doktrin ini terkadang disebut “realistis”. Menurut paham realisme epistimologi bahwa data-data pengetahuan harus diidentifikasikan dengan objek. Sedangkan paham idealisme epistimologi adalah bahwa objek kiranya diidentikan dengan data. (Bagus: 213)

Ø  Debat epistimologi aliran lainnya adalah antara aliran dualisme dan monoisme. Dualisme epistimologi beranggapan bahwa terdapat dualitas antara data indrawi dan obyek yang diketahui. Monoisme epistimologi memandang data identik dengan obyek yang diketahui. (Bagus: 213)

Ø  Dalam hal ini Alquran memberikan petunjuk (solusi) berupa metode praktis tentang cara-cara memperoleh ilmu, yakni melalui metode ilmiah yang realistis, dan jauh dari perdebatan teoritis dan hipotesis. Hal ini bertujuan demi kebaikan umat manusia dan menjauhkannya dari kekeliruan-kekeliruan.

Ø  Metode tersebut ditopang oleh dua faktor yang kuat. Pertama, dengan menggunakan dan memanfaatkan pengalaman orang lain, baik dari kalangan generasi dulu maupun kini. Kedua, menggunakan akal dan pengalaman kita dalam upaya mencari kebenaran agar kita mendapat petunjuk yang orang lain tidak mendapatkannya. Dalam Alquran, faktor pertama melalui pendengaran, atau disebut juga pewarisan pengalaman, dan faktor kedua dengan akal atau pemikiran logis. Sesuai dengan Firman Allah:

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya (QS. Qaf: 37).

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, hingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada (QS al-Hajj: 46).

Ø  Dasar-dasar pewarisan pengalaman:
1. Tidak boleh menyembunyikan ilmu:
²  Barang siapa yang ditanya (memiliki) ilmu pengetahuan, kemudian ia menyembunyikannya, maka Allah akan memberi kendali kepadanya pada hari kiamat nanti dengan kendali dari api neraka (HR. Abu Dawud dan Tirmidazi).
²  Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan (ajarkan) berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk setelah Kami menerangkannya dalam alkitab, mereka akan dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh semua makhluk pelaknat (QS. al-Baqarah: 159).

2. Amanat yang berupa ilmu pengetahuan menduduki tempat pertama untuk diajarkan kepada orang lain; orang yang pandai memberikan segala informasi dengan jelas dan cermat, di dalamnya tidak ada distorsi dan penyimpangan, juga tidak dilebihi dan tidak dikurangi.
²  Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah  mereka memahaminya  sedang mereka mengetahui  (QS. al-Baqarah: 75).
²  Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui (QS. al-Baqoroh: 42).

3. Pengetahuan itu harus disebarluaskan kepada umat. Para Rasul tidak diutus ke muka bumi kecuali mereka berfungsi sebagai guru dan pemberi petunjuk, baik melalui kitab yang diturunkan maupun melalui contoh yang baik, dengan tidak terikat oleh besar atau kecilnya honorarium yang diperoleh.
²  Ikutilah orang yang tidak minta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Yaasin (36): 21).
²  Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak minta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi (QS. Shad: 86-88).

4. Hindari menyia-nyiakan waktu dalam diskusi yang berkepanjangan (baik bagi murid maupun guru) yang tujuannya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mencari kemenangan yang tidak didasari oleh kebenaran.

²  Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan (QS. al-Hajj: 68).
²  Di antar manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syetan yang jahat (QS. al-Hajj: 3).

5. Menerima kebenaran berdasarkan dalil yang argumentatif. al-Qur’an mencela mereka yang menutup mata dan telinga untuk melihat sinar terang kebenaran sehingga mereka tidak mendapat kepastian.
²  Dan sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka kepada iman agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya ke mukanya dan mereka tetap mengingkari dan sangat menyombongkan diri (QS. Nuuh: 7).
²  Dan orang-orang kafir berkata: Dan janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka (QS. Fushshilat: 26). 

6. Mengambil hikmah atau nilai-nilai kebaikan dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat atau sia-sia.
²  Mereka (Orang-orang yang beriman) itulah orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna (QS. al-Mukminun: 3).
²  Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan-perkataan yang sia-sia dan tidak pula mendengar perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan-ucapan “salam”  (QS. al-Waqi’ah: 25-26).

7. Membedakan dan menyeleksi informasi untuk kemaslahatan perdaban umat manusia, agar tidak tersesat akibat menuruti syetan.
²  Sebab itu sampaikanlah berita-berita itu kepada hamba-hambaku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang diberi akal (QS. al-Zumar: 17-18).
²  Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. al-Hujurat: 6).
8. Dapat membedakan dan mengamati orang-orang yang ahli dan kompeten dalam bidangnya (profesionalisme) dalam menerima ilmu pengetahuan.
²  Tanyakanlah prihal yang tidak kamu ketahui kepada orang-orang yang mengetahui (ahlinya)(QS. al-Anbiya: 7).
²  Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca alkitab sebelum kamu (QS. Yunus: 94).
Ø  Keterangan di atas menjelaskan dengan cermat prihal patokan dan kriteria-kriteria ilmu pengetahuan yang harus diwariskan dari satu generasi kepada generasi lainnya. Artinya, al-Qur’an menginformasikan kepada kita bahwa dalam mewariskan ilmu pengetahuan tentunya kita  harus memperhatikan secara selektif-prediktif tentang jenis-jenis pengetahuan yang layak dan sesuai untuk diwariskan dan diterima oleh generasi-generasi mendatang. 

Ø  Dasar-dasar Pemikiran Logis

1.    Harus membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid dan tradisi yang diwariskan secara turun tumurun dari nenek moyang serta dari kungkungan yang meliputi kita sejak kecil. Dengan cara ini kita dapat berfikir dan meneliti secara bebas dan netral, sehingga dapat memperoleh kebenaran yang otentik.
²  (Rasul) berkata: Apakah kamu akan mengikutinya juga, sekalipun aku membawa untukmu agama yang lebih nyata memberi petunjuk dari apa yang kamu dapati dari bapak-bapakmu menganutnya?. Mereka menjawab: Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu disuruh untuk menyampaikannya (QS. al-Zukhruf: 24).
²  Sabda Rasul:Janganlah kamu menjadi pembebek yang berkata: Jika manusia baik, akupun baik, jika mereka jelek akupun jelek. Hendaknya teguh pendirian; jika manusia baik, baiklah kamu. Jika mereka jelek maka hendaklah kamu menjauhinya. (HR. Imam Tirmidzi).

2. al-Qur’an mengajak kita menggunakan panca indra dan akal dalam mengamati pengalaman, baik yang sifatnya material maupun spiritual. Indra dan akal saling menyempurnakan. Antara keduanya tidak terpisah dan tidak berdiri sendiri sebagaimana diklaim masing-masing oleh filsafat empirisme dan rasionalisme.
²  Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, kemudian Dia (Allah) memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur (QS. al-Nahl: 78).
²  Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, akan tetapi amat sedikit kamu bersyukur (QS. al-Mukminun: 78).
3. Selain indra dan akal, ada lagi pemberian Allah yang tersembunyi yang dinamakan dengan hikmah, orang sufi menyebutnya bashirah mulhamah, sedangkan para filosof modern menyebutnya intuisi. Di samping “al-Hikmah” juga Allah memberi al-Nur/cahaya dan al-fariqoh atau al-Furqon, artinya pembeda antar yang haqq dengan yang bathil. Hikmah ini tidak bisa diketahui oleh akal dan indra, tetapi bisa diperoleh melalui apa yang ada di balik itu. Ahli psikologi menyebutnya indra keenam Kekuatan yang tersembunyi tersebut diberikan Allah kepada orang yang sudah mencapai derajat taqarrub (dekat) kepada-Nya.
²  Allah memberikan hikmah kepada siap yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya telah diberi kebajikan yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal (QS. al-Baqarah: 269).
²  Dan setelah dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Yusuf: 22).  
²  Dan Allah menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahay itu kamu dapat berjalan, dan Dia mengampuni kamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Hadid: 28).
²  Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan keslahan-kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar (QS. al-Anfal: 29).  

Ø  Beberapa uraian tersebut di atas merupakan epistimologi ilmu pengetahuan atau langkah-langkah dan cara-cara memperoleh  ilmu pengetahuan yang telah digariskan dalam al-Qur’an.  Epistimologi ilmu perspektif ini, bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dengan menggunakan alat indra, akal, mata hati dan hidayah-taufiq dari Allah (hikmah).

Ø  Sebenarnya epistimologi ilmu perspektif al-Qur’an ini merupakan simultan secara integratif dari aliran-aliran epistimologia yang terdapat dalam filsafat yaitu empirisem, rasionalisme dan intuisisme.







AKSIOLOGI

Ø  Louis O. Kattsoff (1992: 327) mendefinidkan aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat segala sesuatu. Di dunia ini terdapat banyak pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistimologi. Estetika berhubungan dengan masalah keindahan, etika berhubungan dengan masalah kebaikan, dan epistimologi berhubungan dengan masalah kebenaran.

Ø  Permaslahan tentang “hakikat nilai” dapat dijawab dengan tiga macam cara; orang dapat mengatakan bahwa: (1) nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudat pandang ini, nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan “subjektivitas”. Atau dapat pula orang mengatakan (2) nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Niali tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan “objektivisme logis”. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa (3) nilai-nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan. Yang demikian ini disebut “objektivisme metafisik”. (Kattsoff, 1992: 327 dan Bagus, 1996: 33-34).

Ø  Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis tersebut adalah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistimologi dari nilai-nilai itu (Kamus Filsafat Tim Penulis Rosda, 1995: 30). Atau aksiologi berarti kajian teori umum yang menyangkut dengan nilai, atau suatu kajian yang menyangkut segala sesuatu yang bernilai (Bagus, 1996: 33).

Ø  Secara sederhana aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri (Ali Abdul Azhim, 1989: 268). Dalam hal ini telah terjadi perdebatan panjang antara para filusuf tentang tujuan ilmu pengetahuan. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi yang menekuninya, dan mereka menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan”, sebagaimana mereka katakan “seni untuk seni”. Sebagian berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah upaya para peneliti menjadikan alat atau jalan untuk menambah kesenangan hidup di dunia ini. Sebagian lagi menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan. Adapaun dalam Islam bahwa ilmu pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena di balik kehidupan materi ini ada lagi kehidupan yang mereka lalaikan, yakni kehidupan akhirat (QS Ruum: 6-7), maka tujuan ilmu pengetahuan dalam Islam adalah untuk menggapai Ridlo Allah SWT dalam meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

   

No comments:

Post a Comment